"Saya justru kecewa dan heran atas temuan TGPF tersebut. Saya telah memberi keterangan panjang lebar kepada TGPF dan saya yakin fakta-fakta jelas menunjukkan bahwa saya justru berjuang sekeras mungkin untuk menenteramkan keadaan,"kata Prabowo dalam suratnya. Pertemuan Prabowo dengan TGPF itu sendiri berlangsung pada 7 September 1998 di rumah kediaman Prabowo Jl.Cendana No.7, Jakarta Pusat. Dari TGPF hadir Bambang W.Suharto, Bambang Widjoyanto dan Rosita S.Noer. Berkaitan dengan surat Prabowo dari Amann tersebut, menjadi sangat menarik mengungkap apa pengakuan rinci Prabowo di depan tiga anggota TGPF itu. Dan inilah pengakuan lengkap Prabowo di depan TGPF:
Pertama saya ingin jelaskan di awal, bahwa seluruh pengamanan memang sudah merupakan sistem ABRI bahwa seluruh operasi pengamanan di bawah kendali komando otoritasnya adalah Pangdam Jaya sebagai Komando Operasi Jaya, sekaligus sebagai Komandan Garnisun. Jadi yang punya otoritas atau semua gerakan pasukan di Jakarta Raya adalah Pangdam Jaya. Hal itu sudah merupakan sistem ABRI integral. Dan hal itu sudah terjadi sejak saya menjadi tentara. Jadi sejak itu yang saya tahu demikian sistemnya.
Pada 12 Mei 1998 antara pukul 19.00-20.00 WIB saya mendapat telepon dari Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsuddin. Kebetulan saat itu saya sedang berada di Bogor. Dari Pak Syafrie itulah untuk pertama kalinya saya mendengar peristiwa Trisakti. Melalui telepon itu Pak Syafrie menceritakan bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat.
Pak Syafrie juga menceritakan bahwa yang meninggal mungkin 6 orang, namun itu masih belum pasti. Dari situ kita sudah memperkirakan bahwa situasi di Jakarta akan meledak. Tengah malam itu juga kemudian saya
berangkat ke Markas Kostrad di Gambir. Di markas ketika saya datang, sudah dipenuhi oleh beberapa perwira staf dan saya memberi perintah bahwa markas Gambir supaya disiapkan untuk menerima pasukan karena saya sudah memperkirakan situasi Jakarta akan meledak dan pasti bantuan akan diminta.
Untuk itu markas Gambir harus disiapkan untuk menerima kompi-kompi yang datang. Malam itu pada pukul 24.00 WIB penanganan sudah dilakukan, dan markas Gambir dalam posisi siap. Dan waktu itu saya sudah memperkirakan apa perlu menggeser pasukan ke Gambir. Jadi pada 12 Mei 1998 tengah malam saya sudah melakukan langkah antisipasi. Kemudian pada 13 Mei 1998 kita sudah mengikuti atau memonitor perkembangan. Kalau tidak salah ada satu atau dua kompi yang kita kumpulkan di Kostrad.
Dan untuk diketahui juga, saat itu ada sedikit persoalan. Yakni kita sudah memiliki rencana lama yang sudah dipersiapkan sejak sebulan sebelumnya, yakni akan mengadakan upacara di Malang, Jawa Timur, pada 14 Mei 1998. Tiga minggu sebelum tanggal 14 Mei 1998 itu saya sudah menghadap Pangab untuk meminta kesediaan Pangab menjadi Inspektur Upacara (Irup) dan Pangab bersedia.
Melihat perkembangan situasi di Jakarta, saya kembali mengecek ke Mabes ABRI dan menyarankan supaya acara di Malang ditunda saja. Namun Mabes ABRI tetap memutuskan acara di Malang jalan terus dan Pangab tetap akan hadir. Lantas saya juga menanyakan apakah saya selaku Pangkostrad apa tetap harus hadir di Malang atau sebaiknya tetap berada di Jakarta saja. Keputusan saya tetap harus berangkat juga ke Malang.
Nah, jadi itulah yang kemudian pada 14 Mei 1998 pukul 06.00 WIB saya sudah berada di Halim bersama rombongan. Rombongan ini banyak juga. Ada Kasad, Danjen Kopassus, Danjen Marinir, dll. Kami semua akhirnya berangkat juga ke Malang. Jadi pada saat peristiwa 14 Mei 1998, kami semua sedang berada di Malang sejak pagi. Begitu upacara selesai, kami semua terbang kembali ke Jakarta dan mendarat sekitar pukul 12.30 WIB.
Jadwal kembali ke Jakarta itu memang dipercepat karena sewaktu di Malang, kami mendengar ada telepon ke Pangab di ruang VIP. Saya dengar telepon dari Menko Polkam. Isi pembicaraan pada pokoknya soal keadaan Jakarta yang memburuk. Dengan informasi itu acara di Malang dipercepat satu jam, sehingga kami bisa tiba di Jakarta pada pukul12.30 WIB.
Dari Halim saya langsung menuju ke Markas Kostrad di Gambir. Di markas saya melihat ada helikopter. Rupanya Pak Syafrie sudah ada di situ. Kemudian saya menanyakan bagaimana situasinya. Pak Syafrie kemudian menyatakan, sudahlah kamu ikut saya saja. Saya pun kemudian ikut Pak Syafrie keliling Jakarta dengan menggunakan helikopter.
Dari atas saya melihat sudah banyak sekali gedung-gedung yang dibakar massa dan sebagainya. Setelah melihat situasi dari atas, kami kemudian kembali ke Gambir. Kebetulan sekali, sore itu saya punya janji bertemu dengan Pak Ahmad Tirtosudiro (sekarang ketua umum ICMI) di kantor CIDES. Kantornya kalau nggak salah di Departemen Agama, Jl.Thamrin di seberangnya Bank Indonesia.
Karena rencana itu sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya, maka meskipun situasi kacau dan memburuk, saya berusaha untuk tetap menepati janji tersebut untuk bertemu dengan Pak Ahmad Tirto. Kan bagaimana pun Pak Ahmad Tirto itu ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu saya juga berharap beliau bisa kasih statement untuk menenangkan massa. Saya datang ke kantor CIDES dan di situ rupanya sudah banyak orang. Begitu banyak kerumuman orang di situ. Mungkin orang-orang CIDES atau orang-orang ICMI, saya tidak tahu. Saya masuk sekitar pukul 15.55WIB. Atau kurang 10 menit dari waktu sebagaimana perjanjian bertemu yakni pukul 16.00 WIB. Saya datang ke CIDES dengan menggunakan mobil.
Saya masuk dan kemudian menanyakan apakah Pak Ahmad Tirto ada? Ternyata Pak Ahmad tidak ada dan yang ada Pak Adi Sasono. Tapi karena saya janjinya bertemu dengan Pak Ahmad, maka saya putuskan untuk segera kembali ke Gambir. Dari selentingan kemudian saya dengar Jl.Sudirman dan Thamrin massa sudah berkumpul dalam jumlah yang besar, dan sepertinya kurang adanya pasukan.
Sarinah bahkan diisukan akan dibakar. Dari Gambir saya langsung menuju Garnisun menemui Pak Syafrie. Kepada Pak Syafrie saya mengatakan, "Frie di Thamrin pasukan tidak ada." Saya juga menyampaikan selentingan bahwa Sarinah akan dibakar massa yang datang dari Tanah Abang. Saya juga bilang bahwa saya baru saja datang dari Thamrin dan melihat di sana hampir tidak ada pasukan. Kebetulan sekali di situ ada Kasdam dan Kasgar. Nah saat itu sedikit ngotot-ngototan. Mereka bilang sudah ada pasukan, dan saya bilang, tidak ada itu pasukan. "Frie, tidak ada pasukan di Thamrin. Saya baru dari situ sepuluh menit yang lalu. Coba kamu ke situ sekarang." Saya juga menyampaikan kalau saya melihat 16 panser parkir di depan Dephankam.
Pertama saya ingin jelaskan di awal, bahwa seluruh pengamanan memang sudah merupakan sistem ABRI bahwa seluruh operasi pengamanan di bawah kendali komando otoritasnya adalah Pangdam Jaya sebagai Komando Operasi Jaya, sekaligus sebagai Komandan Garnisun. Jadi yang punya otoritas atau semua gerakan pasukan di Jakarta Raya adalah Pangdam Jaya. Hal itu sudah merupakan sistem ABRI integral. Dan hal itu sudah terjadi sejak saya menjadi tentara. Jadi sejak itu yang saya tahu demikian sistemnya.
Pada 12 Mei 1998 antara pukul 19.00-20.00 WIB saya mendapat telepon dari Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsuddin. Kebetulan saat itu saya sedang berada di Bogor. Dari Pak Syafrie itulah untuk pertama kalinya saya mendengar peristiwa Trisakti. Melalui telepon itu Pak Syafrie menceritakan bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat.
Pak Syafrie juga menceritakan bahwa yang meninggal mungkin 6 orang, namun itu masih belum pasti. Dari situ kita sudah memperkirakan bahwa situasi di Jakarta akan meledak. Tengah malam itu juga kemudian saya
berangkat ke Markas Kostrad di Gambir. Di markas ketika saya datang, sudah dipenuhi oleh beberapa perwira staf dan saya memberi perintah bahwa markas Gambir supaya disiapkan untuk menerima pasukan karena saya sudah memperkirakan situasi Jakarta akan meledak dan pasti bantuan akan diminta.
Untuk itu markas Gambir harus disiapkan untuk menerima kompi-kompi yang datang. Malam itu pada pukul 24.00 WIB penanganan sudah dilakukan, dan markas Gambir dalam posisi siap. Dan waktu itu saya sudah memperkirakan apa perlu menggeser pasukan ke Gambir. Jadi pada 12 Mei 1998 tengah malam saya sudah melakukan langkah antisipasi. Kemudian pada 13 Mei 1998 kita sudah mengikuti atau memonitor perkembangan. Kalau tidak salah ada satu atau dua kompi yang kita kumpulkan di Kostrad.
Dan untuk diketahui juga, saat itu ada sedikit persoalan. Yakni kita sudah memiliki rencana lama yang sudah dipersiapkan sejak sebulan sebelumnya, yakni akan mengadakan upacara di Malang, Jawa Timur, pada 14 Mei 1998. Tiga minggu sebelum tanggal 14 Mei 1998 itu saya sudah menghadap Pangab untuk meminta kesediaan Pangab menjadi Inspektur Upacara (Irup) dan Pangab bersedia.
Melihat perkembangan situasi di Jakarta, saya kembali mengecek ke Mabes ABRI dan menyarankan supaya acara di Malang ditunda saja. Namun Mabes ABRI tetap memutuskan acara di Malang jalan terus dan Pangab tetap akan hadir. Lantas saya juga menanyakan apakah saya selaku Pangkostrad apa tetap harus hadir di Malang atau sebaiknya tetap berada di Jakarta saja. Keputusan saya tetap harus berangkat juga ke Malang.
Nah, jadi itulah yang kemudian pada 14 Mei 1998 pukul 06.00 WIB saya sudah berada di Halim bersama rombongan. Rombongan ini banyak juga. Ada Kasad, Danjen Kopassus, Danjen Marinir, dll. Kami semua akhirnya berangkat juga ke Malang. Jadi pada saat peristiwa 14 Mei 1998, kami semua sedang berada di Malang sejak pagi. Begitu upacara selesai, kami semua terbang kembali ke Jakarta dan mendarat sekitar pukul 12.30 WIB.
Jadwal kembali ke Jakarta itu memang dipercepat karena sewaktu di Malang, kami mendengar ada telepon ke Pangab di ruang VIP. Saya dengar telepon dari Menko Polkam. Isi pembicaraan pada pokoknya soal keadaan Jakarta yang memburuk. Dengan informasi itu acara di Malang dipercepat satu jam, sehingga kami bisa tiba di Jakarta pada pukul12.30 WIB.
Dari Halim saya langsung menuju ke Markas Kostrad di Gambir. Di markas saya melihat ada helikopter. Rupanya Pak Syafrie sudah ada di situ. Kemudian saya menanyakan bagaimana situasinya. Pak Syafrie kemudian menyatakan, sudahlah kamu ikut saya saja. Saya pun kemudian ikut Pak Syafrie keliling Jakarta dengan menggunakan helikopter.
Dari atas saya melihat sudah banyak sekali gedung-gedung yang dibakar massa dan sebagainya. Setelah melihat situasi dari atas, kami kemudian kembali ke Gambir. Kebetulan sekali, sore itu saya punya janji bertemu dengan Pak Ahmad Tirtosudiro (sekarang ketua umum ICMI) di kantor CIDES. Kantornya kalau nggak salah di Departemen Agama, Jl.Thamrin di seberangnya Bank Indonesia.
Karena rencana itu sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya, maka meskipun situasi kacau dan memburuk, saya berusaha untuk tetap menepati janji tersebut untuk bertemu dengan Pak Ahmad Tirto. Kan bagaimana pun Pak Ahmad Tirto itu ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu saya juga berharap beliau bisa kasih statement untuk menenangkan massa. Saya datang ke kantor CIDES dan di situ rupanya sudah banyak orang. Begitu banyak kerumuman orang di situ. Mungkin orang-orang CIDES atau orang-orang ICMI, saya tidak tahu. Saya masuk sekitar pukul 15.55WIB. Atau kurang 10 menit dari waktu sebagaimana perjanjian bertemu yakni pukul 16.00 WIB. Saya datang ke CIDES dengan menggunakan mobil.
Saya masuk dan kemudian menanyakan apakah Pak Ahmad Tirto ada? Ternyata Pak Ahmad tidak ada dan yang ada Pak Adi Sasono. Tapi karena saya janjinya bertemu dengan Pak Ahmad, maka saya putuskan untuk segera kembali ke Gambir. Dari selentingan kemudian saya dengar Jl.Sudirman dan Thamrin massa sudah berkumpul dalam jumlah yang besar, dan sepertinya kurang adanya pasukan.
Sarinah bahkan diisukan akan dibakar. Dari Gambir saya langsung menuju Garnisun menemui Pak Syafrie. Kepada Pak Syafrie saya mengatakan, "Frie di Thamrin pasukan tidak ada." Saya juga menyampaikan selentingan bahwa Sarinah akan dibakar massa yang datang dari Tanah Abang. Saya juga bilang bahwa saya baru saja datang dari Thamrin dan melihat di sana hampir tidak ada pasukan. Kebetulan sekali di situ ada Kasdam dan Kasgar. Nah saat itu sedikit ngotot-ngototan. Mereka bilang sudah ada pasukan, dan saya bilang, tidak ada itu pasukan. "Frie, tidak ada pasukan di Thamrin. Saya baru dari situ sepuluh menit yang lalu. Coba kamu ke situ sekarang." Saya juga menyampaikan kalau saya melihat 16 panser parkir di depan Dephankam.
Saya kemudian menyarankan agar 16 panser itu jangan nongkrong saja di situ. Sebaiknya panser itu melakukan patroli sepanjang Sudirman Thamrin untuk mencegah terjadi pembakaran. Akhirnya Pak Syafrie oke. "Saya akan lihat dan kamu ikut saya,"kata Pak Syafrie. Jadi saya bersama Pak Syafrie, kalau tidak salah Komandan Kopassus, Pak Muhdi juga ikutan. Dengan menggunakan panser kami menuju ke Dephankam. Dan memang benar di situ ada 16 panser. Lantas oleh Pak Syafrie, sebagian diperintahkan untuk mengikuti dan Pak Syafrie sendiri yang memimpin rombongan ini, kira-kira ada delapan atau sepuluh kendaraan truk dan panser yang beriringan.
Kami lantas menuju Thamrin dan di Thamrin ada massa yang sebagian adalah karyawan-karyawan yang mungkin turun dari kantor-kantor tapi tidak ada bus sehingga mereka tidak bisa pulang. Lantas rombongan kami masuk ke Jl.Sabang. Nah, pas kami masuk Sabang di situ memang ada satu regu pasukan. Satu regu jumlahnya 10 orang. Mereka hanya berdiri saja.
Sementara itu massa juga terlihat massa yang jumlahnya 20 orang atay 15 orang sudah mulai membongkar toko. Kami lantas berhenti dan beberapa anggota turun untuk mengamankan penjarah. Di situ bisa diatas, kemudian kami pergi lagi dan melewati Sarinah masuk kembali ke Jl.Thamrin. Di situ dengan menggunakan megaphone kami mengimbau agar massa pulang. Massa itu saya kira bukan penjarah. Mereka hanya datang tapi tidak pulang karena tidak ada bus, tidak ada taksi.
Kami kemudian berhenti di depan Hotel Indonesia (HI). Di situlah Pak Syafrie kemudian memutuskan agar truk-truk tersebut mengangkut massa. Dengan bantuan truk-truk itu massa diangkut, dan situasi pun kemudian terlihat reda. Setelah itu kamu kemudian bergerak lagi menuju Jl.Sudirman dan Semanggi. Itu yang saya tahu tentang kejadian 14 Mei 1998 dan saya kembali ke Markas Komando. Nah di situlah saya kira banyak terjadi pergeseran pasukan, pasukan datang dari mana, pasukan kita cari, oasukan di mana, pasukan Kostrad ditempatkan di mana dan sebagaimananya. Saya ingin tegaskan di sini, walaupun saya bintang 3, pada saat itu saya tidak mempunyai hak untuk memerintahkan Pak Syafrie. Jadi saya sering bertindak sebagai penasihat beliau, sama dengan Danjen Kopassus dan yang lainnya. Ya semacam protap (prosedur tetap) atau semacam kebiasaan konvensi. Jadi setiap ada krisis, Panglima-panglima kumpul. Biasanya juga ada dari Angkatan Laut, angkata udara dan sebagainya. Apa yang kita lakukan adalah untuk membantu Kodam Jaya karena Kodam Jaya-lah komandan operasi. Istilahnya yang punya gawelah.
Kemudian pada 14 Mei 1998 malam kami semua mengadakan rapat di Gambir. Kalau tidak salah Pangab juga hadir. Pak Sutiyoso juga hadir di situ ada di Gambir Garnisun, kendali itu ada di Garnisun. Kami semua menyampaikan laporan-laporan dalam rapat itu. Pak Sutiyoso melaporkan kebakaran sudah ada 210 titik api. Mobil-mobil kebakaran harus dikawal panser.
Dalam rapat itu juga terungkap, bahwa saat sudah terjadi kebakaran, pasukan sedikit sekali. Saya tanyakan ke Pak Syafrie, mana pasukan? Menurut Pak Syafrie, jika pasukan tidak bertindak lantaran mereka trauma
dengan kejadian 12 Mei (Tragedi Trisakti). Sebab yang menjarah adalah orang-orang miskin. Prajurit-prajurit kita juga datang dari golongan miskin. Mereka tidak tega menembak ibu-ibu dan anak-anak yang menjarah. Saya kira itu psikologisnya. Tentang massa memang saya mendengar ada yang menggerakan.
Baru kemudian diaturlah secara teknis penempatan-penempatan pasukan, dsb. Dalam rapat itu juga diperintahkan agar semua panser harus dikeluarkan. Kemudian, saya, waktu itu selaku wakil Pangab, sempat
menanyakan, apakah ini termasuk Scorpion. Soalnya, Scorpion ini kan baru dibeli dari Ingrris. Mungkin ada masalah politik, apakah Scorpion itu boleh kita pakai di Jakarta atau tidak. Nanti seolah-olah Scorpion itu kita pakai untuk melawan rakyat sendiri. Rupanya keputusannya, termasuk Scorpion itu harus dikeluarkan.
Semua panser, semua tank yang bisa digerakan harus digerakan. Nah itulah yang saya ketahui hingga malam hari tanggal 14 Mei 1998. Kemudian tanggal 15 Mei 1998 situasi sudah mulai agak reda dan agak terkendali. Saat itu saya menyarankan supaya brigade-brigade ini memiliki pos sendiri-sendiri karena brigade itu kan memiliki markas brigade sendiri-sendiri. Nah saya sarankan Jakarta dibagi sektor-sektor.
Brigade 17 diberi satu sektor, Brigade Marinir satu sektor, Grup I Kopassus diberi satu sektor, dan akhirnya memang dibagi-bagi demikian. Kalau tidak salah Komandan Grup I Kopassus dapat sektor sekitar Tanjung Periok dan Cempaka Putih. Marinir dikasih Jakarta Selatan. Jadi Semanggi ke selatan itu Marinir. Jadi begitulah yang saya ketahui mengenai peristiwa 13, 14 dan 15 Mei 1998.
Setelah Prabowo memberi penjelasan, kemudian dilakukan tanya jawab dengan anggota TGPF. Dan berikut
petikan tanya jawab itu atas pertanyaan yang dilontarkan Rosita S.Noer: Berapa besar pasukan yang di BKO-kan? Secara rinci saya kira data-datanya ada di Kostrad. Seingat saya, mungkin pada hari pertama sampai 12 SSK. 10-12 SSK begitu.
Meningkat terus pada 14 Mei 1998, sampai puncaknya 20 Mei 1998, kalau tidak salah hampir 70, 60 kompi. Hampir 60 kompi Kostrad dari Jakarta. Dan hampir seluruhnya Jawa Tengah, Jawa Timur. Jawa Tengah masih harus membantu Yogya, karena Yogya juga ramai. Jadi kami tidak bisa mengambil batalyon yang di Purwokerto sama Kartosuro dan yang di Solo juga tidak bisa diambil. Tapi dari Jawa Barat semua kita ambil, kemudian dari Jawa Timur sebagian kita terbangkan, bahkan juga dari Ujung Pandang. Itu kalau tidak salah pada 19 Mei 1998 kita mendatangkan satu atau dua kompi dari Ujung Pandang. Cukup banyak, tapi tidak sekaligus datang. Ya pulang ya datang. Kita cari-cari lagi tapi hampir seluruh Kostrad itu sudah hampir terlibat.
Massa yang menjarah di Sabang Anda lihat spontan apa tidak?
Jadi begini, saya kalau bicara harus ada data, harus ada bukti, tapi saya kira juga ya. Jadi massa memang ada rasa ketidakpuasan, tapi ada juga saya lihat kelompok-kelompok yang menggerakan. Kita harus jujur ya di sini, karena waktu di Jl.Sabang, saya melihat ada kira-kira 20 orang yang menjarah. Satu orang di belakang mereka kurang lebih 30 meter teriak-teriak memberi order. Orang ini penampilannya agak bersih pakai rompi kayak wartawan. Rompinya warna coklat, coklat muda, orangnya agaka bersih klimis, klimis ada kumis. Jadi itu yang saya lihat langsung di situ. Belum lagi yang saya dengar-dengar, banyak laporan katanya ada ini, ada itu.
Anda sendiri sebelumnya pengikuti perkembangan Ibukota?
Ya, saya agak sulit karena terus terang saja, waktu saya pindah dari Kopassus ke Kostrad pada 28 Maret, selama dua bulan, April, Mei, saya baru satu bulan di Kostrad. Pada saat itu saya keliling-keliling ke semua bagian di Kostrad. Jadi saya tidak terlalu mengikuti perkembangan Ibukota. Dan saya pikir waktu itu kan ada Pangdam jaya, ada Danjen Kopassus, dan sebagainya.
Dan Danjen Kopassus yang baru satu bulan menjabat itu memungkin juga masih belajar. Sementara muncul kasus-kasus. Kasus orang hilang misalkan juga belum tuntas. Sudahlah, saya jadi tidak punya kekuatan untuk mengatakan siapa. Rumor-rumor, katanya ada yang mengatakan saya dalangnya, ada yang mengatakan Pak Benny Moerdani, ada yang bilang ICMI yang buat.
Kalau saya jelas bukan dalangnya, karena saya justru berusaha untuk mencegah. Dalam setiap kesempatan, sejak Desember, saat saya bertemu dengan kalangan LSM, tokoh ulama, pertemuan dengan aktivis, dan pertemuan segala macam, saya selalu minta untuk menghindari adanya aksi massa, menghindari turun ke jalan. Saya kemudian malah disebut pro status quo. Padahal jika itu saya katakan, karena untuk setiap kasus kerusuhan yang terjadi di Indonesia, selalu ditunggangi pihak ketiga. Bahkan keamanan di sini dituduh mengamankan rejim. Sejarah dunia membuktikan, apabila ada aksi massa ditembak oleh aparat keamanan dan ada yang mati, biasanya rejim itu tidak bisa bertahan lama. Mungkin kasus Tienanmen di Cina lain, karena rejimnya kuat dan otoriter.
Bagaimana dengan isu keterlibatan perguruan silat?
Saya kira tidak ada. Itu mungkin suatu kampanye untuk menghancurkan saya. Perguruan Silat SMI selalu mengambil falsaha pendidikannya adalah akhlah budi pekerti, membela negara dan membela kebenaran dan keadilan. Bahkan Dandim sering dibantu mereka dalam mengamankan wilayahnya.
Kalau saya jelas bukan dalangnya, karena saya justru berusaha untuk mencegah. Dalam setiap kesempatan, sejak Desember, saat saya bertemu dengan kalangan LSM, tokoh ulama, pertemuan dengan aktivis, dan pertemuan segala macam, saya selalu minta untuk menghindari adanya aksi massa, menghindari turun ke jalan. Saya kemudian malah disebut pro status quo. Padahal jika itu saya katakan, karena untuk setiap kasus kerusuhan yang terjadi di Indonesia, selalu ditunggangi pihak ketiga. Bahkan keamanan di sini dituduh mengamankan rejim. Sejarah dunia membuktikan, apabila ada aksi massa ditembak oleh aparat keamanan dan ada yang mati, biasanya rejim itu tidak bisa bertahan lama. Mungkin kasus Tienanmen di Cina lain, karena rejimnya kuat dan otoriter.
Bagaimana dengan isu keterlibatan perguruan silat?
Saya kira tidak ada. Itu mungkin suatu kampanye untuk menghancurkan saya. Perguruan Silat SMI selalu mengambil falsaha pendidikannya adalah akhlah budi pekerti, membela negara dan membela kebenaran dan keadilan. Bahkan Dandim sering dibantu mereka dalam mengamankan wilayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar